Harga Minyak Dunia Naik Usai Vladimir Putin Ancam Stop Ekspor

HENTIKAN KE PEMBELI

JAKARTA,PenaMerdeka – Harga minyak mentah dunia naik pada akhir perdagangan Kamis (8/9/2022), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan itu terjadi usai Presiden Rusia, Vladimir Putin mengancam bakal menghentikan ekspor minyak dan gas ke sejumlah pembeli. 

Tercatat, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober menguat US$1,6 atau hampir 2 persen ke US$83,54 per barel di New York Mercantile Exchange.

Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November sebesar US$1,15 atau 1,3 persen ke US$89,15 per barel di London ICE Futures Exchange.

Kenaikan harga terjadi setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengancam untuk menghentikan ekspor migas jika pembeli Eropa menerapkan batas harga.

Uni Eropa mengusulkan pembatasan harga gas Rusia. Hal ini meningkatkan risiko penjatahan musim dingin jika ancaman Putin terealisasi. Raksasa migas Gazprom Rusia sendiri telah menghentikan aliran dari pipa gas Nord Stream.

Di sisi lain, kenaikan harga minyak tertahan setelah AS mengumumkan kenaikan persediaan minyak mentah.

Menurut EIA, total persediaan bensin motor naik 0,4 juta barel dari minggu lalu, sedangkan persediaan bahan bakar sulingan naik 0,1 juta barel.

Selain itu, Gedung Putuh juga mempertimbangkan untuk lebih banyak melepas minyak mentah dari cadangan strategis.

“Sebagian besar minyak dalam penimbunan itu berasal dari Cadangan Minyak Strategis (SPR). Semakin cepat kita mengosongkan SPR, semakin besar penarikan yang akan terjadi di masa depan,” ujar Analis Price Futures Group Phil Flynn seperti dilansir dari Reuters, Jumat (9/9/2022).

Harga minyak juga mendapat tekanan terbatas dari kekhawatiran perpanjangan penguncian covid-19 China dan kenaikan suku bunga global yang akan memperlambat aktivitas ekonomi dan menekan permintaan bahan bakar.

“Pedagang energi sebagian besar telah memperhitungkan (priced in) dari penghentian aktivitas karena covid-19 di China serta kekhawatiran permintaan dari sinyal pengetatan agresif ECB (Bank Sentral Eropa) dan Fed (Bank Sentral AS),” ujar Analis Pasar Senior OANDA Edward Moya. (uki)

Disarankan
Click To Comments