Oleh: Rini Ismiati, Pemerhati/Peneliti Hukum dan Lingkungan IDP LP
Hilirisasi (Downstream) akhir-akhir ini menjadi “jargon” pemerintah Indonesia. Jargon tersebut digaungkan dalam 2 event besar baru-baru ini, yaitu Indonesia Mining Summit (IMS) 2023 di Mulia Resort Nusa Dua Bali 10 Oktober 2023 dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN di Jakarta 5-7 September 2023.
Gagasan tersebut disambut positif Ketua Umum Indonesian Mining Association, Rachmat Makkasau. Bahkan berkeyakinan kebijakan hilirisasi yang berkelanjutan dan berkesinambungan dalam rangka memenuhi kebutuhan industri dalam negeri akan menciptakan peluang Indonesia untuk berpartisipasi dalam rantai pasok global terbuka lebar.
Tidak salah jika kita melihat sedikit ke belakang. Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM mencatat sejak tahun 2010, pemerintah Indonesia sudah mencanangkan hilirisasi. Dengan tujuan meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki negara, terutama komoditas dari Sumber Daya Alam (SDA) yang diekspor keluar negeri.
Hanya saja komitmen dan dukungan terhadap kebijakan hilirisasi masih pantas diuji kembali. Apakah jargon hilirisasi itu mimpi baru yang sedang dibangun untuk direalisasikan demi kesejahteraan rakyat atau sebenarnya ambisi lama yang belum terlihat jelas realisasi arahnya kemana.
HILIRISASI TINGKATKAN NILAI TAMBAH KOMODITAS
Melalui hilirisasi tidak saja meningkatkan nilai jual komoditas ekspor. Jauh dari itu pula menghadirkan produk barang setengah jadi atau barang jadi. Sebuah produk industri yang meningkat dari sisi kebermanfaatan, nilai ekonomi, penguasaan teknologi dibandingkan sebelumnya sampai pada tujuan pembangunan keberlanjutan.
Kita ambil contoh salah satu komoditi yang digadang-gadang pemerintah dapat menjadi primadona Indonesia untuk meningkatkan pendapatan negara, yaitu nikel. Hasil riset Badan Survei Geologi/United States Geological Survey (USGS) pada tahun 2022 menyimpulkan bahwa Indonesia menjadi penghasil nikel nomor satu dengan total produksinya diperkirakan mencapai 1,6 juta metrik ton atau setara dengan 48,48% dari total produksi nikel global sepanjang tahun 2021.
Cadangan nikel Indonesia sebanyak 21 juta ton mengalahkan cadangan Australia yang mencapai 20 juta ton, Brazil sebesar 16 juta ton dan total cadangan logam nikel dunia tahun 2020 mecapai 94 juta ton.
Cadangan bijih nikel yang begitu besar mendorong Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan optimis bahwa Indonesia dapat menjadi pemain utama dunia baterai litium. Sekaligus menangkap peluang saat banyak negara yang terikat Paris Agreement berkomitmen mengurangi emisi karbon, kemudiaan diikuti kebijakan global untuk menggunakan kendaraan listrik, maka posisi tersebut akan menguntungkan Indonesia.
Secara praktis nantinya negara lain akan banyak tergantung kepada Indonesia sebagai produsen baterai lithium untuk kendaraan listrik. Dengan posisi yang diperhitungkan dunia dalam industri pasar global nikel, maka jika itu terealisasi bisa dibayangkan betapa besarnya pendapatan negara dan pesatnya laju pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan Roadmap for Nickel Downstream Industry yang dibuat oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, Indonesia mentargetkan memenuhi permintaan dunia sampai dengan tahun 2045 untuk Electric Vehicle Batteray Pack (EVBP) sebesar 5,91 triliun dolar Amerika dan Stainless Steel sebesar 365 milyar dolar Amerika. Selain itu, Indonesia juga mentargetkan menjadi produsen EVPB terbesar kelima dan produsen Stainless Steel terbesar kedua di dunia. Dapat dikatakan bahwa itu adalah peluang sekaligus tantangan.
PELUANG DAN TANTANGAN HILIRISASI
Dikatakan sebagai peluang, jika hilirisasi nikel dapat dikelola dengan baik, maka dapat berkontribusi untuk mewujudkan mimpi peningkatan pendapatan negara, pertumbuhan ekonomi hingga sampai pada pencapaian kesejahteraan bersama. Jika pemerintah dapat merealisasikan itu, artinya pengejawantahan amanah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berhasil dicapai bahwa nikel sebagai salah satu kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tentunya realisasi hilirisasi nikel tidak serta merta hanya mengeksploitasi nikel, tetapi dampak pada sosial ekonomi masyarakat lokal, lingkungan dan keberlanjutannya juga harus diperhatikan. Pengelolaan SDA haruslah memikirkan ketersediaan untuk kesejahteraan generasi mendatang, bukan hanya pada pemenuhan ambisi sesaat.
Selain peluang, terdapat tantangan besar yang mengancam keberlanjutan apabila pemerintah gagal mengelolanya dengan baik. Tanpa perencanaan yang memadai, hilirisasi nikel hanya akan menjadi sebuah ambisi untuk mengeksploitasi cadangan sebatas pemenuhan pasar global.
Jika hilirisasi dipaksakan tanpa ada perencanaan, termasuk bagaimana memperhitungkan karakteristik market, maka Indonesia akan berada pada posisi yang lemah. Diperlukan inisiatif yang dilakukan bersamaan dari hulu ke hilir dan dukungan regulasi agar hilirisasi dapat berjalan dengan baik, tegas Kepala Pengembangan Teknologi dan Perencanaan Perusahaan, PT MIND ID Aditya Farhan Arif.
Lalu pertanyaannya, siapa yang akan diuntungkan dan siapa yang akan dirugikan/menanggung risiko? Contoh, Indonesia ingin melakukan hilirisasi fero nikel, tetapi ternyata produk hilirnya sudah terkunci oleh China, sehingga apa yang akan Indonesia hilirkan akan sangat bergantung dengan permintaan/market di China. Pada akhirnya Indonesia akan sangat bergantung dengan China.
Berbagai catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Antar Tambang (Jatam), greenpeace mengungkapkan bahwa banyaknya dampak buruk pada sosial ekonomi, kesehatan, dan lingkungan akibat pertambangan nikel. Laporan Yudo dan Sumaningsi (2021) memberikan catatan 60% warga sekitar Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Provinsi Halmahera Selatan mengalami gangguan kesehatan dan 26,7% warga gangguan pernafasan dan batuk-batuk. Selain itu, tempo juga mencatat bahwa kawasan tersebut juga merupakan ekosistem berbagai jenis ikan, namun sejak adanya tambang nikel., ekosistem ikan menjadi punah. Hal itu menyebabkan para nelayan beralih profesi menjadi buruh kasar di perusahaan- perusahaan tambang dengan tingkat kesejahteraan yang tidak lebih baik.
REGULASI DAN SUSTAINABLE MINING SEBAGAI SOLUSI
Menjawab semua tantangan masalah sosial ekonomi, kesehatan, dan lingkungan diperlukan dua pendekatan sebagai solusi. Pertama penguatan regulasi untuk mengendalikan berbagai dampak investasi tambang. Produk hukum Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang digadang-gadang sebagai produk regulasi kemudahan investasi, memerlukan peraturan pelaksanaan yang mampu meminimalkan risiko investasi.
Kendati sempat memicu keresahan, UUCK tetap dipertahankan. Harapannya melalui regulasi UUCK mendorong kemudahan investasi, namun tentunya harus dipikirkan jaminan perlindungan bagi masyarakat lokal, baik itu aspek sosial ekonomi juga kesehatan. Tidak kalah pentingnya juga jaminan keberlanjutan SDA dan lingkungan.
Keberadaan undang-undang pada dasarnya adalah instrumen bagi penguasa untuk menjalankan roda pemerintahan. Sebagai pengatur masyarakat, membatasi kekuasaan, sebagai a tool of social engineering dengan memberikan jaminan hukum, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Terlebih lagi Presiden telah melakukan kunjungan kerja ke Cina pada 16-18 Oktober dengan membawa kabar gembira bahwa Indonesia membawa pulang hasil kerjasama senilai 12,6 miliar dollar Amerika. Bukti nyata investasi besar mengalir ke Indonesia dari negara lain.
Greenpeace memperhitungkan kebutuhan nikel bisa naik lebih dari 1.000 persen pada 2050. Sudah bisa dibayangkan akan berapa banyak hutan-hutan dibabat untuk kepentingan pembukaan lahan baru area tambang.
Pendekatan kedua adalah penerapan konsep pertambangan berkelanjutan (sustainable mining). Rangkaian kegiatan pertambangan mulai dari perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, hilirisasi, sampai dengan pascatambang/reklamasi harus dapat mengintegrasikan isu-isu lingkungan, kesehatan, sosial dan ekonomi.
Rasanya perlu kita menyadari nasehat leluhur “Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia, namun tidak keserakahan setiap manusia”. Semoga kekayaan alam Indonesia sungguh bermanfaat bagi kehidupan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.