PenaMerdeka – Kasus honorarium yang mendera 50 legislator alias anggota DPRD dan pejabat Kota Tangerang bermula saat Hasanudin Bije, yang notabene mantan anggota DPRD melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang.
Laporan ber nomor 020.6/lKPI/11/15 berisi soal adanya indikasi tindak pidana korupsi penerimaan honor nara sumber oleh anggota DPRD Kota Tangerang pada tahun 2015.
Dari informasi yang berhasil di himpun, modus perkara ini disebut baru pertama terjadi di Indonesia.
Sehingga diprediksi nasib ke 50 anggota DPRD Kota Tangerang jika perkaranya tuntas diselesaikan di meja hukum, maka proses Pergantian Antar Waktu (PAW) secara masal potensinya bisa terjadi.
Namun demikian sejumlah pihak juga mendesak agar Kejari Kota Tangerang menyeret pihak Pemkot lantaran diduga sebagai pemberi anggaran.
Terkait kasus tersebut, menurut Hasanudin Bije yang juga sebagai penasehat Lembaga Kajian Pemerintahan Indonesia (LKPI) bahwa seorang legislator berhak menjadi nara sumber dalam agenda pembangunan daerah.
Artinya kehadiran anggota DPRD dalam musrembang sudah menjadi kewajiban. “Sebagai wakil rakyat mereka wajib menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat, tapi tidak ada embel-embel menerima anggaran apapun,” tuturnya.
Sebelum kasus ini mencuat, kata Bije kepada penamerdeka mengungkapkan, bahkan ada satu daerah yang akan melakukan kunjungan kerja (Kunker, red) atau study banding terkait pemberian anggaran hoonorarium tersebut.
“Mereka ingin dana honorarium yang diberikan kepada masing-masing anggota dewan di Kota Tangerang hingga mendapat jatah anggaran sebesar Rp. 3 juta rupiah per-sekali datang menjadi nara sumber bisa dilaksanakan di daerah tersebut,” ujar Bije menerangkan.
Tetapi lantaran menurutnya sudah menjadi alat bukti pelaporan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat dan ramai diberitakan di media akhirnya urung dijadikan parameter kebijakan yang akan dilaksanakan di daearah tersebut. (yud)