Dua bulan kedepan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menargetkan kepastian skema pendanaan proyek kereta api ringan atau yang disebut Light Rail Transit (LRT) Jabodetabek.
Pasalnya waktu tersebut bertujuan untuk menjamin pengerjaan LRT yang dimaksud selesai pada 2019. Akan tetapi, proyek tersebut tidak bisa begitu saja ditawarkan kepada investor, meskipun nantinya menggunakan skema availability payment (AP).
Sugihardjo Sekretaris Jenderal Kemenhub menjelaskan, kami tengah mencari skema pendanaan alternatif bagi proyek infrastruktur tersebut. Opsi yang saat ini menjadi konsentrasi utama ialah (AP) atau pembayaran ketersediaan layanan.
Seperti dikutup dar beritasatu.com menurut Sugihardjo program pengerjaan LRT Jabodebek yang tercantum dalam Peraturan Presiden No 65/2016 terbagi dalam dua kategori, yaitu pembangunan prasarana yang akan dilakukan pemerintah dengan menugaskan PT Adhi Karya Tbk dan di sisi lain paket penyediaan rolling stock atau KA beserta operasi dan pemeliharaannya yang digarap oleh PT KAI.
“Konsep AP masih dibahas. Artinya, ada aspek investor yang melihat kelayakan usaha. Sekarang, kalau itu dipisah antara pembangunan infrastruktur dan rolling stock, berarti skemanya kurang begitu menarik bagi investor. Kecuali kalau ada pendekatan digabungkan,” ucap Sugihardjo di Jakarta, Sabtu (24/9).
“Karena ini berbeda dengan jalan tol. Begitu jalannya jadi, kan pemanfaatannya itu langsung, jadi ada pendapatan. Tapi, kalau rel kereta LRT kan bila sudah selesai dibangun, belum ada pemanfaatannya sehingga belum ada pendapatan kecuali kalau ada keretanya dan operasinya,” ujarnya menjelaskan.
Dengan adanya konsep pemisahan paket tersebut, investor kemungkinan enggan bergabung bila ditawarkan paket kerja sama untuk membangun prasarananya saja. Pasalnya, investasi yang disetorkan investor baru bisa dikembalikan setelah ada pelayanan operasi kepada masyarakat. (herman)