Penabrak Kanit PPA Tangsel Ngaku Ngebut saat Kejadian dan Tak Miliki SIM
PANIK MOBIL RUSAK KARENA PUNYA ORANG TUA
KOTA TANGERANG,PenaMerdeka – Terdakwa Ida Amini (29), penabrak Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Tangerang Selatan (Tangsel), Ipda Siswanto mengaku berkendara dengan kecepatan tinggi saat kejadian kecelakaan lalulintas tersebut. Ia juga mengakui bahwa tidak adanya SIM saat itu.
Pengakuan itu disampaikannya saat sidang lanjutan di ruang sidang 1 Pengadilan Negeri Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Senin (9/10/2023) siang. Kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ida ngebut lantaran anaknya hendak buang air besar (BAB).
“Iya pak ngebut, terkena (body) sebelah kanan pas pintu sopir, saya enggak memperhatikan jatuhnya. Karena saat itu anak saya kebelet mau BAB,” ucapnya saat dihadirkan secara virtual atau daring.
Namun, kecepatan dalam berkendara itu Ida merasa tidak memperhatikan. “Perkiraan saya jalan saya muat untuk menyalip. Saya kurang tahu (kecepatan berapa), tapi tidak memperhatikan,” katanya.
Ida pun dicecar pertanyaan oleh jaksa saat kejadian apakah melihat korban atau tidak. “Saya puter balik lihat dari kaca spion tengah. Dan saat sampai korban sudah di gotong ke pinggir trotoar dengan pesepeda lainnya saya bawa ke RS pakai ambulans ke EMC,” katanya.
Selain itu pada saat Jaksa mempertanyakan soal SIM kepada terdakwa. Terdakwa sempat berbelit soal keberadaan SIM. Awalnya sempat mengaku tidak membawa fisik SIM.
Jaksa pun kembali mencecar soal SIM tersebut. Terdakwa akhirnya mengaku tidak memiliki SIM. “Iya tidak ada pak karena ilang (sebelum peristiwa kecelakaan), tidak ada,” sebutnya.
Selain itu juga, terdakwa lebih peduli terhadap kendaraan, ia mengaku itupun lantaran karena panik usai kejadian. Ida beralasan lantaran kendaraan yang ditumpanginya saat peristiwa adalah milik orang tuanya.
“Penyok sebelah kanan sopir dan kaca spion copot. Saya seperti itu karena bukan punya (mobil) saya,” ujarnya.
Hakim Ketua, Ismail Hidayat menyatakan dalam persoalan itu jangan disepelekan, sebab bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Hal tersebut pun apabila sejak awal terdakwa mempunyai rasa empati kepada korban dan keluarganya.
“Jangan masa bodo, kan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Sudah berkendara tidak bawa SIM, tidak ada juga rasa empati kepada korban,” tukasnya.
Sementara itu Kuasa hukum keluarga korban, Agus Supriyatna menilai tidak adanya kesesuaian keterangan Ida Amini dengan saksi-saksi di lokasi peristiwa lakalantas tersebut. Diantaranya, tidak ada rasa empati ditunjukan terdakwa terhadap korban.
“Ya tadi kita dengar sama-sama bahwa terdakwa menyampaikan bahwa membawa korban ke rumah sakit adalah dia, padahal bukan. Nah yang menghubungi ambulance dan membawa korban ke rumah sakit adalah saksi Robbi,” sebutnya.
Agus mengatakan, saat korban dirawat di rumah sakit, pihak terdakwa tidak ada upaya sama sekali untuk membantu biaya perawatan korban. Hingga sampai pindah rumah sakit pun karena memerlukan perawatan intensif tidak ada upaya itu.
“Sampai korban meninggal dunia satu Minggu lebih, baru ada upaya pihak terdakwa datang ke rumah duka. Memang, disitulah pihak terdakwa menawarkan uang,” katanya.
“Tapi bukan untuk mengganti biaya pengobatan, tetapi tawaran untuk cabut laporan dengan uang Rp 50juta. Dan itu menurut keluarga merupakan cara penyampaian yang tidak tepat, uangnya pun tidak ada hanya ucapan saja,” sambungnya.
Agus pun menanggapi terdakwa yang ditanya oleh hakim bersedia memberikan santunan kepada keluarga korban. Ia menyebutkan, sikap dari keluarga korban pun menunggu kesesuaian terdakwa dengan jawaban siap dari terdakwa tersebut.
“Ya jangan omdo alias omong doang. Kita lihat nanti, apakah ada kesesuaian atau tidak apa yang di sampaikan terdakwa dengan kenyataannya, kita liat saja nanti seperti apa,” tukasnya.
Untuk diketahui, terdakwa Ida Amini dijerat Pasal 310 ayat 4 subsider 310 ayat 3 dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp12 juta. Serta, kurungan penjara paling lama 6 (enam) tahun. (hisyam)