Penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Indonesia masih menyisakan persoalan, di Surabaya, Jawa Timur, masyarakat masih memaksakan kehendak untuk sekolah dengan status negeri yang notabene berada di pusat kota kendati perolehan nilai siswanya tidak memadai.
Makanya kata Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya sangat menyayangkan masih banyaknya permohonan PPDB melalui jalur mitra warga yang masuk ke meja kerjanya.
“Kami menyayangkan banyaknya warga yang memaksakan masuk ke SMA di pusat kota, padahal nilainya sangat rendah. Ada sekitar 2.000 permohonan mitra warga yang masuk ke meja saya,” ucapnya beberapa waktu lalu.
Menurut Risma, SMK justru punya keunggulan tersendiri, di luar negeri kalau nilai akademiknya dirasa kurang, mereka akan beralih ke sekolah vokasional (kejuruan). Fenomena maraknya warga yang memaksakan diri memasukkan anaknya ke SMA dikarenakan masih minimnya kesadaran akan potensi SMK.
Ia mengatakan lulusan SMK punya pilihan melanjutkan ke kuliah, tapi juga sudah siap bila langsung kerja. “Jadi, SMK itu bukan golongan yang tersisih,” ujarnya.
Diketahui kuota mitra warga yang ditetapkan Dinas Pendidikan Surabaya hanya 5 persen dari total pagu sekolah. Pendaftaran jalur mitra warga, satu lokasi, dan inklusi dilakukan di sekolah yang dituju.
Jalur mitra warga khusus bagi warga Kota Surabaya. Salah satu syarat pendaftaran membawa kartu keluarga (KK) Surabaya, hingga surat keterangan miskin (SKM) yang masih berlaku.
Untuk jalur mitra warga, ada survei ke lapangan untuk mengecek kebenaran data kurang mampu. Setelah hasil data survei itu, pendaftar juga bakal diterima berdasarkan rangking hasil Ujian Nasional.
Sementara disebutkan pemerhati pendidikan, terkait persoalan PPDB bahwa adanya keterlibatan oknum kepala lingkungan dan sekolah yang kerap memasukan siswa ke sekolah negeri dengan jumlah banyak menjadi persoalan untuk kemajuan pendidikan di Kota Tangerang. Sehingga sistem kriteria calon siswa bukan menjadi acuan lagi, ungkap M. Luthfi Direktur Lembaga Aspirasi Masyarakat Indonesia (LAMI).
Seorang kepala lingkungan (RW-red) konon dari informasi yang berhasil dihimpun bisa menjadi ‘pemasok’ siswa di sekolah negeri meskipun secara ketentuan syarat dan nilai tidak mencukupi. Tentu saja kata Luthfi, bukan tanpa biaya, momentum proyek tahunan ini bahkan mereka sebelum proses PPDB berlangsung meminta sejumlah uang komersilnya kepada orangtua calon murid dengan iming-iming bisa menjamin siswa tersebut masuk di sekolah yang dituju.
“Kondisi ini tentu saja membuat Kepala Sekolah setempat kebagian pusing karena dalam tekanan seorang oknum kepala lingkungan atau pejabat wilayah setempat walaupun pihak sekolah sudah mengakomodir kepentingan lingkungan,” katanya menjelaskan, Minggu (10/7).
“Kami pusing juga mas karena oknum kepala lingkungan meminta jatah siswa baru yang dibawanya harus dimasukan banyak,” kata salahseorang Kepala Sekolah tingkat SMA Negeri sederajat yang enggan disebutkan namanya.
Sistem PPDB pada tahun 2016 Pemkot Tangerang tidak memberikan porsi persentasi besar kepada lingkungan sekolah setempat, ucapnya.
Menurut Kepsek ini lebih jauh menerangkan, tahun ini berbeda dengan sistem PPDB beberapa tahun lalu dimana Pemkot Tangerang melalui Dindikbud mengeluarkan kebijakan 30% kepada masyarakat yang berdomisili dekat dengan lingkungan sekolah.
Ditempat berbeda, walaupun sudah beredar himbauan dari Dindikbud bahwa pihak sekolah jangan keluar koordinasi dengan pihak Dikmen Kota Tangerang, pada tahun ajaran baru ini beredar issu jika sejumlah kepala sekolah tingkat SMA Negeri sengaja menyisakan formulir PPDB untuk diperjual belikan.
Informasi yang berhasil dihimpun, satu formulir dibanderol Rp 3 juta. Oknum kepala sekolah tersebut sengaja ‘melepas’ formulir PPDB kepada sejumlah guru untuk ditawarkan kepada calon siswa baru.
Memang dalam penelusuran tim Pena Merdeka tidak dapat menemukan jumlah formulir yang sengaja dikomersialkan.
Terkait adanya jual beli formulir PPDB tersebut, Kabid Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang, Ahmad Amarullah mengaku tidak bisa menghilangkan secara drastis soal adanya jual beli formulir oleh oknum.
Amarulloh melanjutkan, sistem PPDB memang tidak serta merta harus hilang dengan segera mungkin kendati Amarullah jujur mengakui bahwa adanya oknum penjual formulir PPDB potensinya bisa merusak tatanan dunia pendidikan.
“Mereka dapat merusak dunia pendidikan, langkahnya harus diminimalisir dari sekarang karena jika dibiarkan akan merugikan masyarakat,” ucapnya menegaskan.
Sementara Ombudsman Perwakilan Banten menyayangkan terkait masih tertutup dan tidak transparannya Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota terkait dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Bahkan, Ombudsman menilai, jika PPDB di Banten sarat dengan unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Kepala Ombudsman Perwakilan Banten, Bambang P Sumo menilai, pola PPDB yang selama ini diterapkan oleh delapan Kabupaten/Kota masih terkesan rapat, ucapnya beberapa waktu lalu.
Padahal, kata Bambang P Sumo, di beberapa daerah sudah melakukan sistem keterbukaan dengan mengumumkan hasil tes PPDB kepada publik.
“Di Jakarta, sudah lama sekali pola PPDB ditempel didinding, nama dan hasil nilainya. Sehingga, semua yang daftar disalah satu sekolah tertentu dapat melihat hasilnya,” ucapnya.
Dengan pola terbuka dan transparan, sambung dia, dapat menghindari praktik kecurangan yang pada akhirnya merugikan masyakarat dan tidak meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
“Sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintah termasuk penyelenggaran PSB, kami sudah berkunjung dan berkoordinasi ke beberapa dinas pendidikan, agar mereka dalam PSB harus obyektif,” ucap Bambang menegaskan.
Yang dimaksud Ombusdman kepada semua Kabupaten/Kota di Banten adalah memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada warga negara yang ingin bersekolah. “Jangan ada lagi upaya tidak baik, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,” kata Bambang.(wahyudi/timPM)