PenaMerdeka – Pemberlakuan peralihan Pendidikan Menengah (SMA sederajat) Kota dan Kabupaten seluruh Indonesia ke masing-masing Dinas Pendidikan Pemerintahan Provinsi masih mengundang pro kontra.
Pelaku pendidik merasa khawatir soal kesiapan jika pengelolaan Dikmen (pelaksanaan uu 23 tahun 2014) nanti berada di Dinas Pendidikan Provinsi kendati sejumlah pihak meyakini jika kebijakan pusat itu bakal mempunyai dampak positif terhadap dunia pendidikan.
H. Abdul Hakim Mufid, Kepala SMK Bandara, Kota Tangerang menilai bahwa untuk mengurus segala keperluan administrasi menyangkut keperluan sekolah diakuinya bakal mengalami kesulitan. Pasalnya, dari jarak tempuh antara Kota Tangerang ke Pemrov Banten terbilang jauh. Maka dari itu harus ada solusi tempat. Karena menurut pengalamannya terkait pengurusan terkadang bukan hanya satu hari lantas bisa rampung, jangan sampai menyita waktu.
Jika memang pengurusan berbasis online mungkin itu lebih efektif asalkan ada sosialisasi yang bagus, katanya kepada penamerdeka.com, Rabu (30/3).
“Itu dari segi waktu, apalagi apakah dibawah kepemimpinan Gubernur Rano Karno secara SDM Pemprov sudah mampu mengakomodir kebutuhan kami? Mungkin ini salah satu kekhawatiran para pelaku didik di Banten.”
Namun demikian Mufid mengatakan, sampai sejauh ini kebijakan pusat itu ada plus minusnya. Kedepan setelah pelaksanaan uu 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berlaku pada 2016 mendatang, alokasi APBD di Kota dan Kabupaten untuk sektor pendidikan SMA sederajat berlabel negeri bakal hilang, karena menurutnya kedepan akan ditanggung pihak Provinsi sehingga ada alokasi APBD Kota / Kabupaten yang lebih besar bisa dipakai secara signifikan terhadap perkembangan pendidikan dasar.
Tetapi ia juga menyatakan dalam kurun waktu menunggu sampai diberlakukan Undang-undang tersebut sistem penerimaan siswa pada tahun 2015 lalu di sekolah negeri dampaknya mengalami sedikit peningkatan rombongan belajar. Lantaran sektor pembangunan sekolah dan penambahan kelas baru tidak dilaksanakan kepada sekolah negeri di tingkat Kabupaten dan Kota yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Sementara minat masyarakat untuk sekolah di negeri masih tinggi. Otomatis tingkat SMA sederajat agak kesulitan menghindarkan atau menekan jumlah rombel. Karena jika pembangunan dilakukan takut menjadi temuan hukum dalam penggunaan anggaran,” katanya beralasan.
Penundaan pembangunan sekolah atau penambahan kelas baru sampai UU itu dilaksanakan tentunya secara profit siswa sedikit menguntungkan bagi sekolah swasta. Jika siswa tidak tertampung di sekolah negeri maka mereka akan datang ke swasta.
“Di Kota Tangerang kan ada sejumlah penundaan pembangunan SMK-N. Jadi secara langsung mereka tetap mencari SMK yang diinginkan, yakni sekolah swasta” tuturnya.
Tetapi kami yakin di Dikmen Dindikbud Kota Tangerang sekarang ini mampu menjalankan pendelegasian peralihan supaya dapat mensosialisasikan perkembangan UU tersebut kepada sekolah, tandasnya menjelaskan.
H. Sukar, Kepala SMK Yapipa, Perum Pondok Pakulonan Kota Tangerang Selatan memprediksi bahwa persoalan administrasi juga dikhawatirkan pihaknya. Pasalnya di tahun 2016 nanti SMK Yapipa akan mengurus soal akreditasi.
“Apakah kira-kira sudah siap SDM Dinas Pendidikan Provinsi Banten. Kalau tahun-tahun sebelumnya kan masih ngurus di Dinas Pendidikan Tangsel, itu lebih mudah,” katanya.
Ia mengaku bahwa selama ini dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Tangsel kerap mensosialisasikan perkembangan pemberlakuan dan pelaksanaan uu 23 tahun 2014 tersebut.
“Saya berharap setelah diberlakukan peralihan Dikmen ke Provinsi membawa dampak yang baik bagi dunia pendidikan. Kalau demi kebaikan kemajuan siswa apa yang dilakukan pemerintah saya setuju saja. Kita tidak bisa menolak karena itu merupakan Undang-undang yang harus dilaksanakan.”
Kami sebagai pelaksana tetap harus mengikuti meskipun H. Sukar mengklaim bahwa keputusan itu masih riskan dilaksanakan terutama dalam pengurusan operasional sekolah.
Sementara Ketua Forum Aksi Guru Independen Bandung Iwan Hermawan beberapa waktu lalu mengatakan, kalangan guru menyambut baik peralihan pengelolaan itu. Dampaknya, tunjangan perbaikan penghasilan guru bakal naik. Saat ini dari pemerintah Kota Bandung misalnya, tunjangan tersebut yang diterima seorang guru sebesar Rp 200 ribu per bulan.
“Di provinsi sesuai Surat Keputusan Gubernur, tunjangan itu bisa mencapai Rp 4,5 juta per bulan, tergantung pangkat dan jabatannya,” ujarnya kepada wartawan.
Selain itu, pengalihan SMA sederajat ke provinsi pun berdampak pada pemerataan sekolah negeri gratis. Ketua Forum Orang Tua Siswa (Fortusis) Kota Bandung Dwi Subawanto mengatakan, kebijakan provinsi Jawa Barat untuk SMA negeri sederajat gratis sejauh ini baru berjalan di 20 dari 27 kota dan kabupaten di Jawa Barat.
“Sesuai janji Gubernur, ketentuan (sekolah gratis) itu harus dibuat peraturan daerahnya seperti DKI Jakarta,” katanya.
Menurutnya, sekolah gratis SMA negeri sederajat itu akan mengurangi beban orang tua. Sekolah swasta juga terbantu karena biaya sekolah bisa berkurang. “Cara itu bisa meningkatkan partisipasi bersekolah di Jawa Barat sampai lulus SMA sederajat,” katanya.
Saat ini pelaksanaan uu 23 tahun 2014 secara nasional, menurut Dwi, mayoritas lulusan sekolah baru setara SMP sederajat. Dwi menilai, pengalihan sekolah tersebut ke provinsi masih bisa selaras dengan rencana pemerintah pusat yang ingin menerapkan wajib belajar pendidikan dasar selama 12 tahun, atau dari jenjang SD hingga SMA sederajat.
“Provinsi tinggal berkoordinasi saja dengan kota kabupaten,” katanya. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan rencananya akan memulai pengalihan manajemen SMA sederajat tersebut pada 2015. (wahyudi)